Pengamat: "Incumbent" Harus Mundur Enam Bulan Sebelumnya
Kupang (ANTARA) - Pengamat hukum dan politik Nicolaus Pira Bunga SH, M. Hum menyatakan kepala daerah yang ingin mengikuti kembali pemilu kepala daerah (incumbent) harus mundur enam bulan sebelum berakhirnya masa jabatan.
Hal ini sejalan dengan revisi Undang-Undang (UU) No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah yang harus dipertegas agar tidak salah tafsir, kata mantan pembantu dekan I Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang itu di Kupang, Minggu.
"Rancangan revisi UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah mengalami kemajuan yang cukup pesat, namun pasal-pasal yang mengatur tentang `incumbent` harus dipertegas agar tidak salah tafsir. Minimal enam bulan sebelum akhir masa jabatan, `incumbent` harus mundur," katanya.
Pira Bunga mengemukakan pandangannya itu terkait pernyataan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi bahwa dalam rancangan revisi UU No.32/2004 tersebut akan mengatur kepala daerah yang "incumbent" harus mundur dari jabatannya.
Gamawan menjelaskan ketentuan untuk mundur dari jabatan ini juga berlaku bagi para bupati/wali kota yang maju dalam pemilihan gubernur.
Pira Bunga mengatakan, jika kepala daerah tidak mundur dari jabatannya ketika mengikuti pilkada, maka terbuka peluang bagi kepala daerah menggunakan kewenangan dari jabatannya demi kepentingan pribadi.
"Ini sebuah realitas yang tidak bisa dihindari selama ini, sehingga `incumbent` harus mundur dari jabatannya, minimal enam bulan sebelum berakhir masa jabatan," katanya.
Ketentuan kepala daerah harus mundur ketika mengikuti pilkada diatur dalam UU No.12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua UU 32/2004.
Dalam pasal 58 huruf q UU 12/2008 disebutkan, calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang masih menduduki jabatannya harus mengundurkan diri sejak pendaftaran.
Pasal ini kemudian diajukan oleh Gubernur Lampung Sjachroedin ZP ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan MK membatalkan pasal tersebut karena bertentangan dengan UUD 1945.
Meski ketentuan itu pernah dibatalkan oleh MK, Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan, pihaknya akan tetap mencantumkan aturan kepala daerah harus mundur dari jabatannya dalam revisi UU Pemerintahan Daerah.
Pira Bunga juga mengingatkan agar penunjukkan seorang penjabat, baik bupati atau wali kota harus berasal dari para asisten yang ada dalam lingkup pemerintahan tersebut.
"Jika seorang penjabat bupati atau wali kota ditunjuk dari atas, lebih banyak memuat kepentingan politik sehingga tidak efektif dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang penjabat kepala daerah," ujarnya.
Persoalan-persoalan yang mengemuka ini harus dipertegas dalam pasal-pasal perubahan rancangan revisi UU No.32/2004 yang sedang digelorakan Kementerian Dalam Negeri agar menjadi pedoman dalam pelaksanaan Pilkada di Indonesia, katanya. (diposkan oleh : Agus HP)
Hal ini sejalan dengan revisi Undang-Undang (UU) No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah yang harus dipertegas agar tidak salah tafsir, kata mantan pembantu dekan I Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang itu di Kupang, Minggu.
"Rancangan revisi UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah mengalami kemajuan yang cukup pesat, namun pasal-pasal yang mengatur tentang `incumbent` harus dipertegas agar tidak salah tafsir. Minimal enam bulan sebelum akhir masa jabatan, `incumbent` harus mundur," katanya.
Pira Bunga mengemukakan pandangannya itu terkait pernyataan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi bahwa dalam rancangan revisi UU No.32/2004 tersebut akan mengatur kepala daerah yang "incumbent" harus mundur dari jabatannya.
Gamawan menjelaskan ketentuan untuk mundur dari jabatan ini juga berlaku bagi para bupati/wali kota yang maju dalam pemilihan gubernur.
Pira Bunga mengatakan, jika kepala daerah tidak mundur dari jabatannya ketika mengikuti pilkada, maka terbuka peluang bagi kepala daerah menggunakan kewenangan dari jabatannya demi kepentingan pribadi.
"Ini sebuah realitas yang tidak bisa dihindari selama ini, sehingga `incumbent` harus mundur dari jabatannya, minimal enam bulan sebelum berakhir masa jabatan," katanya.
Ketentuan kepala daerah harus mundur ketika mengikuti pilkada diatur dalam UU No.12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua UU 32/2004.
Dalam pasal 58 huruf q UU 12/2008 disebutkan, calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang masih menduduki jabatannya harus mengundurkan diri sejak pendaftaran.
Pasal ini kemudian diajukan oleh Gubernur Lampung Sjachroedin ZP ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan MK membatalkan pasal tersebut karena bertentangan dengan UUD 1945.
Meski ketentuan itu pernah dibatalkan oleh MK, Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan, pihaknya akan tetap mencantumkan aturan kepala daerah harus mundur dari jabatannya dalam revisi UU Pemerintahan Daerah.
Pira Bunga juga mengingatkan agar penunjukkan seorang penjabat, baik bupati atau wali kota harus berasal dari para asisten yang ada dalam lingkup pemerintahan tersebut.
"Jika seorang penjabat bupati atau wali kota ditunjuk dari atas, lebih banyak memuat kepentingan politik sehingga tidak efektif dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang penjabat kepala daerah," ujarnya.
Persoalan-persoalan yang mengemuka ini harus dipertegas dalam pasal-pasal perubahan rancangan revisi UU No.32/2004 yang sedang digelorakan Kementerian Dalam Negeri agar menjadi pedoman dalam pelaksanaan Pilkada di Indonesia, katanya. (diposkan oleh : Agus HP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar