Berita Depdagri
Monday, 17 January 2011 18:29:32
Diajukan Lagi, Klausul Incumbent Harus Mundur
Kategori: Berita Depdagri(95 view)
Klausul ini telah dimasukkan dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada yang sedang disusun pemerintah. “Pertimbangannya, incumbent bisa melakukan dan memanfaatkan banyak hal demi pemenangannya dalam pilkada. Hal ini khususnya demi kepentingan kampanye. Karena itu,idealnya incumbentmemang harus mundur,”papar Gamawan di Jakarta akhir pekan lalu.
Dia mencontohkan, kepala daerah yang berniat mencalonkan diri lagi bisa menaikkan atau mengintensifkan pengucuran berbagai program bantuan sosial setahun atau dua tahun menjelang pilkada untuk menggalang simpati masyarakat. Banyak pula terjadi kepala daerah mendadak rajin keliling membagi-bagikan bantuan dengan program daerah dan uang negara seolah-olah semua bersumber dari koceknya sendiri.
Gamawan mengingatkan, aturan calon incumbent harus mundur pernah ada dalam Pasal 58 huruf q UU No 12/2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah (Pemda).Ayat itu berbunyi “Kepala daerah dan/ atau wakil kepala daerah yang masih menduduki jabatan masingmasing diminta mengundurkan diri sejak pendaftaran untuk bisa kembali maju dalam pilkada”.
Namun, aturan ini dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) saat memutuskan perkara uji materiil dengan alasan menimbulkan ketidakpastian hukum atas masa jabatan kepala daerah, yakni selama lima tahun serta memunculkan perlakuan berbeda kepada sesama pejabat negara sehingga tidak sesuai Pasal 28 Ayat 1 UUD 1945. Karena itu, lanjut Gamawan, pihaknya telah menyiapkan berbagai pertimbangan dan alasan baru agar klausul ini bisa masuk dalam UU Pilkada.
“Alasan dan pertimbangan pemerintah tentu sangat rasional,objektif, dan sesuai fakta,”tutur mantan Gubernur Sumatera Barat ini. Dia menambahkan,dalam draf RUU Pilkada, kewajiban bagi incumbent untuk mundur tidak hanya berlaku bagi kepala daerah yang maju untuk posisi yang sama di daerahnya, tapi juga bagi mereka yang akan menjadi calon di daerah lain bahkan di tingkat yang lebih tinggi. “Misalnya, ada bupati yang ingin menjadi calon gubernur atau wakil gubernur.
Dia tetap harus mundur dulu.Kalau tidak mundur, pilkada seperti undian berhadiah. Padahal, setiap pilihan politik ada konsekuensi,”papar Gamawan. Sementara itu,anggota Komisi II DPR Arif Wibowo mengaku sepakat dengan kewajiban bagi incumbent untuk mundur sebelum maju lagi dalam pilkada. Menurut Arif, berbagai pelanggaran yang terjadi pada tahapan pilkada banyak dilakukan calon incumbent.Sebab, mereka sangat leluasa memanfaatkan jabatan dan kedudukannya.
Meski demikian, Arif berharap agar klausul ini dilengkapi larangan bagi kepala daerah untuk mencalonkan diri di daerah lain. “Usulan Mendagri cukup bagus, tapi kurang progresif.Kepala daerah harus memegang tanggung jawab kepada rakyat atas jabatannya. Kalau ada bupati maju menjadi calon gubernur, itu namanya tidak menjalankan amanat rakyat yang telah memilih”tandasnya.
Sementara itu,Direktur Centre for Electoral Reform (Cetro) Hadar Navis Gumay justru menolak kewajiban incumbent untuk mundur. Menurut dia, regulasi yang harus dibenahi bukan kewajiban mundur bagi incumbent, melainkan regulasi menyangkut larangan bagi incumbent.“Incumbent tidak akan bisa melakukan pelanggaran bila aturannya tegas memberi batasan bagi mereka.Aturan inilah yang harus dikuatkan, bukan incumbent harus mundur dulu,”paparnya.
Sebelumnya,Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampow mengatakan, keikutsertaan incumbent dalam pilkada sangat berpotensi menghasilkan kepala daerah terpilih yang korup. Untuk keperluan pemenangan, incumbent menggunakan berbagai cara agar dapat menggunakan uang rakyat dari APBD/APBN maupun pos-pos lain.
Dia menyebutkan ada tiga incumbent yang berhasil menjadi kepala daerah terpilih, tapi ditahan dan akhirnya terpaksa diberhentikan. Fenomena ini membuat suara rakyat “hangus”. Ketiga kepala daerah itu adalah Gubernur Bengkulu Agusrin Najamuddin, Bupati Lampung Timur Satono, dan Wali Kota Tomohon Jefferson Rumajar. Belakangan, Mendagri membatalkan pemberhentian Satono karena PN Tanjung Karang,Lampung, memutuskan yang bersangkutan tidak lagi berstatus terdakwa. (mohammad sahlan) (diposkan oleh : Agus HP)
Dia mencontohkan, kepala daerah yang berniat mencalonkan diri lagi bisa menaikkan atau mengintensifkan pengucuran berbagai program bantuan sosial setahun atau dua tahun menjelang pilkada untuk menggalang simpati masyarakat. Banyak pula terjadi kepala daerah mendadak rajin keliling membagi-bagikan bantuan dengan program daerah dan uang negara seolah-olah semua bersumber dari koceknya sendiri.
Gamawan mengingatkan, aturan calon incumbent harus mundur pernah ada dalam Pasal 58 huruf q UU No 12/2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah (Pemda).Ayat itu berbunyi “Kepala daerah dan/ atau wakil kepala daerah yang masih menduduki jabatan masingmasing diminta mengundurkan diri sejak pendaftaran untuk bisa kembali maju dalam pilkada”.
Namun, aturan ini dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) saat memutuskan perkara uji materiil dengan alasan menimbulkan ketidakpastian hukum atas masa jabatan kepala daerah, yakni selama lima tahun serta memunculkan perlakuan berbeda kepada sesama pejabat negara sehingga tidak sesuai Pasal 28 Ayat 1 UUD 1945. Karena itu, lanjut Gamawan, pihaknya telah menyiapkan berbagai pertimbangan dan alasan baru agar klausul ini bisa masuk dalam UU Pilkada.
“Alasan dan pertimbangan pemerintah tentu sangat rasional,objektif, dan sesuai fakta,”tutur mantan Gubernur Sumatera Barat ini. Dia menambahkan,dalam draf RUU Pilkada, kewajiban bagi incumbent untuk mundur tidak hanya berlaku bagi kepala daerah yang maju untuk posisi yang sama di daerahnya, tapi juga bagi mereka yang akan menjadi calon di daerah lain bahkan di tingkat yang lebih tinggi. “Misalnya, ada bupati yang ingin menjadi calon gubernur atau wakil gubernur.
Dia tetap harus mundur dulu.Kalau tidak mundur, pilkada seperti undian berhadiah. Padahal, setiap pilihan politik ada konsekuensi,”papar Gamawan. Sementara itu,anggota Komisi II DPR Arif Wibowo mengaku sepakat dengan kewajiban bagi incumbent untuk mundur sebelum maju lagi dalam pilkada. Menurut Arif, berbagai pelanggaran yang terjadi pada tahapan pilkada banyak dilakukan calon incumbent.Sebab, mereka sangat leluasa memanfaatkan jabatan dan kedudukannya.
Meski demikian, Arif berharap agar klausul ini dilengkapi larangan bagi kepala daerah untuk mencalonkan diri di daerah lain. “Usulan Mendagri cukup bagus, tapi kurang progresif.Kepala daerah harus memegang tanggung jawab kepada rakyat atas jabatannya. Kalau ada bupati maju menjadi calon gubernur, itu namanya tidak menjalankan amanat rakyat yang telah memilih”tandasnya.
Sementara itu,Direktur Centre for Electoral Reform (Cetro) Hadar Navis Gumay justru menolak kewajiban incumbent untuk mundur. Menurut dia, regulasi yang harus dibenahi bukan kewajiban mundur bagi incumbent, melainkan regulasi menyangkut larangan bagi incumbent.“Incumbent tidak akan bisa melakukan pelanggaran bila aturannya tegas memberi batasan bagi mereka.Aturan inilah yang harus dikuatkan, bukan incumbent harus mundur dulu,”paparnya.
Sebelumnya,Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampow mengatakan, keikutsertaan incumbent dalam pilkada sangat berpotensi menghasilkan kepala daerah terpilih yang korup. Untuk keperluan pemenangan, incumbent menggunakan berbagai cara agar dapat menggunakan uang rakyat dari APBD/APBN maupun pos-pos lain.
Dia menyebutkan ada tiga incumbent yang berhasil menjadi kepala daerah terpilih, tapi ditahan dan akhirnya terpaksa diberhentikan. Fenomena ini membuat suara rakyat “hangus”. Ketiga kepala daerah itu adalah Gubernur Bengkulu Agusrin Najamuddin, Bupati Lampung Timur Satono, dan Wali Kota Tomohon Jefferson Rumajar. Belakangan, Mendagri membatalkan pemberhentian Satono karena PN Tanjung Karang,Lampung, memutuskan yang bersangkutan tidak lagi berstatus terdakwa. (mohammad sahlan) (diposkan oleh : Agus HP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar